Seperti yang kita ketahui bersama, pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia menganut sistem self-assessment. Namun, faktanya tidak semua orang paham dan mampu untuk melaksanakan kewajiban tersebut.

Oleh karena itu, DJP memperbolehkan Wajib Pajak meminta bantuan melalui wakil atau kuasa untuk melaksanakan kewajiban tersebut.

Lantas, apa perbedaan wakil dan kuasa Wajib Pajak? Simak penjelasan lengkapnya dalam pembahasan berikut ini!

Baca juga: Kriteria Menjadi Seorang Kuasa Bagi Wajib Pajak

Perbedaan wakil dan kuasa Wajib Pajak

Pada dasarnya, tugas dari wakil dan kuasa Wajib Pajak tidak berbeda, yaitu untuk mewakili pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

Namun, wakil hanya dapat digunakan oleh Wajib Pajak tertentu dan begitu pula dengan kuasa. Agar lebih paham, simak perbedaan wakil dan kuasa Wajib Pajak berikut ini.

Pengertian wakil Wajib Pajak

Ketentuan terkait dengan wakil Wajib Pajak diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa Wajib Pajak bisa diwakili untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dalam hal:

  • Badan, diwakili oleh pengurus
  • Badan yang dinyatakan pailit oleh kurator
  • Badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan
  • Badan dalam likuidasi oleh likuidator
  • Warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta peninggalannya
  • Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya

Dalam hal wakil Wajib Pajak badan, maka yang dapat dipilih adalah pengurus perusahaan, komisaris, dan pemegang saham mayoritas (pengendali). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (4) UU HPP.

Lebih lanjut, pasal tersebut juga menjelaskan bahwa wakil Wajib Pajak bertanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran pajak terutang.

Namun, wakil Wajib Pajak dapat dikecualikan dari kewajiban tersebut bila memang tidak mampu untuk dibebani tanggung jawab tersebut.

Baca juga: Penanggung Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi

Pengertian kuasa Wajib Pajak

Pasal 32 ayat (3) UU HPP mengatur ketentuan terkait kuasa Wajib Pajak. Dalam pasal tersebut, dikatakan bahwa orang pribadi maupun badan bisa menunjuk kuasa untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.

Berbeda dengan wakil Wajib Pajak, orang pribadi maupun badan harus menggunakan surat kuasa khusus untuk menunjuk seorang kuasa.

Selain itu, tidak semua hak dan kewajiban dapat dikuasakan oleh kuasa Wajib Pajak. Hanya kewajiban perpajakan tertentu dalam surat kuasa khusus yang dapat dikuasakan.

Lalu, hak dan kewajiban apa yang tidak boleh dikuasakan? Ada 2, yaitu pembuatan NPWP dan pengukuhan PKP (Pengusaha Kena Pajak).

Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 229/PMK.03/2014.

Jika ingin menunjuk kuasa Wajib Pajak, maka ada 2 macam yang dapat dipilih, yaitu:

  • Konsultan pajak
  • Karyawan dari Wajib Pajak

Namun, kuasa Wajib Pajak harus memenuhi beberapa persyaratan dalam Pasal 4 PMK Nomor 229/PMK/03/2014 lebih dulu, yaitu:

  • Menguasai ketentuan peraturan perpajakan
  • Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak pemberi kuasa
  • Memiliki NPWP
  • Telah menyampaikan SPT Tahunan pada tahun pajak terakhir, kecuali kuasa tersebut belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan
  • Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Bila Wajib Pajak menunjuk seorang konsultan sebagai kuasa, maka harus ada izin praktik yang diterbitkan oleh DJP dan menyerahkan surat pernyataan sebagai konsultan pajak.

Selain itu, saat pelaksanaan kewajiban perpajakan, konsultan pajak juga harus menyertakan beberapa dokumen, yaitu:

  • Surat kuasa khusus
  • Fotokopi kartu izin praktik
  • Surat pernyataan
  • Fotokopi NPWP
  • Fotokopi tanda terima penyampaian SPT Tahunan pada tahun pajak terakhir bagi kuasa yang sudah memiliki kewajiban tersebut

Jika yang ditunjuk adalah karyawan, maka harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

  • Sertifikat brevet di bidang perpajakan
  • Ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, minimal tingkat Diploma III dari perguruan tinggi dengan status akreditasi A
  • Sertifikat konsultan pajak

Karyawan juga harus menyertakan beberapa dokumen saat pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, yaitu:

  • Fotokopi sertifikat brevet, ijazah pendidikan formal, atau sertifikat konsultan pajak
  • Fotokopi NPWP
  • Fotokopi tanda terima penyampaian SPT Tahunan pada tahun pajak terakhir jika sudah memiliki kewajiban tersebut
  • Fotokopi daftar karyawan tetap yang dilakukan pemotongan PPh (pajak penghasilan) pasal 21 dalam SPT Masa Pajak PPh 21 yang sudah dilaporkan Wajib Pajak

Jika semua persyaratan di atas telah dipenuhi, barulah kuasa dan wakil dapat mewakili Wajib Pajak dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.

Bila Anda ingin mencari kuasa Wajib Pajak, tim konsultan Bisa Pajak adalah pilihan terbaik. Langsung saja hubungi kami dan Anda tinggal terima beres!

Pastikan pula untuk selalu update dengan informasi terbaru seputar dunia perpajakan di Indonesia melalui berbagai media sosial kami!