Tidak semua pelanggaran pajak dilakukan dengan niat jahat. Banyak wajib pajak yang terjerat masalah perpajakan karena kekeliruan administratif atau kurangnya pemahaman terhadap aturan. Melalui Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), pemerintah kini menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi: memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk memperbaiki kesalahan tanpa harus berhadapan dengan proses pidana.
Memahami Esensi Tindak Pidana Pajak
Tindak pidana pajak adalah perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan negara, biasanya dilakukan dengan sengaja. Contohnya termasuk:
- Menghindari pembayaran pajak melalui cara ilegal,
- Menggunakan dokumen pajak palsu,
- Tidak menyetorkan PPN yang sudah dipungut,
- Menghambat pemeriksaan pajak, atau
- Melaporkan penghasilan tidak sesuai kenyataan.
Tindakan-tindakan tersebut bisa berujung pada hukuman pidana bila tidak segera diperbaiki.
Jenis dan Dasar Hukum Sanksi Pidana Pajak
Sanksi pidana dalam perpajakan dapat berupa denda, kenaikan beban pajak, kurungan, atau penjara. Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tindak pidana perpajakan di antaranya:
- Pasal 242: memberikan keterangan palsu di bawah sumpah,
- Pasal 263: pemalsuan surat,
- Pasal 372: penggelapan,
- Pasal 387: penipuan atau perbuatan curang.
Sanksi pidana umumnya dikenakan kepada wajib pajak yang sengaja tidak menyampaikan SPT, mengisi SPT dengan data palsu, atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong. Hukuman bisa mencapai penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal empat kali pajak terutang.
Konsep Penghapusan Sanksi Pidana Pajak
Kini, pemerintah menekankan pendekatan persuasif dibandingkan represif. Tujuan utamanya adalah:
- Mendorong kepatuhan sukarela,
- Menjaga iklim usaha tetap kondusif, dan
- Memaksimalkan penerimaan negara tanpa perlu proses hukum panjang.
Wajib pajak bisa terhindar dari sanksi pidana apabila:
- Belum dilakukan penyidikan,
- Mengakui kesalahan secara sukarela,
- Melunasi seluruh tunggakan dan denda administratif,
- Melapor sebelum ditemukan bukti oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dasar Hukum Penghapusan Sanksi
Kebijakan ini memiliki dasar hukum kuat, yaitu:
- UU No. 7 Tahun 2021 tentang HPP, khususnya Pasal 44B,
- PP No. 50 Tahun 2022, yang mengatur tata cara pengungkapan ketidakbenaran oleh wajib pajak.
Tanggung Jawab Tetap Berlaku
Meski sanksi pidana dihapus, wajib pajak tetap wajib membayar:
- Bunga keterlambatan,
- Denda administratif sesuai ketentuan.
Ini berbeda dari program tax amnesty, karena denda administratif tetap berlaku.
Manfaat Kebijakan Penghapusan Sanksi Pidana
Kebijakan ini membawa dampak positif bagi wajib pajak, antara lain:
- Aktivitas bisnis tetap berjalan tanpa gangguan hukum,
- Menghindari stigma negatif,
- Mendapat kepastian hukum yang lebih baik,
- Mendorong kesadaran dan budaya patuh pajak.
Penghapusan sanksi pidana pajak mencerminkan perubahan paradigma dalam sistem perpajakan Indonesia. Pemerintah memilih pendekatan edukatif dan membina dibanding menghukum. Dengan demikian, kepatuhan pajak tumbuh atas dasar kesadaran.
Bila Anda kesulitan mengurus pajak pribadi maupun usaha, biar tim Bisa Pajak yang hitung, setor, dan laporkan pajak. Anda dapat jadwalkan konsultasi pajak online gratis atau langsung chat admin konsultan pajak kami sekarang! Untuk informasi lebih lanjut tentang perpajakan bisa langsung menghubungi Hotline kami di 0858-8336-6001
|Pajak Digital Kian Ketat, Data E-Wallet Masuk Radar DJP Mulai 2026
Pastikan pula untuk selalu update dengan informasi terbaru seputar dunia perpajakan di Indonesia melalui berbagai media sosial kami!