Ada banyak perusahaan di Indonesia yang mempekerjakan WNA (Warga Negara Asing) sebagai karyawan. Terutama perusahaan asing yang membuka kantor di Indonesia.

Karena WNA tersebut bekerja dan mendapat penghasilan di Indonesia, maka muncul kewajiban untuk membayar pajak ke negara.

Namun, ketentuan pajak yang digunakan berbeda dengan karyawan WNI pada umumnya. Supaya lebih jelas, simak selengkapnya dalam pembahasan berikut.

Baca juga: Jual Harta di Indonesia, WNA Kena Pajak Ini! 

Ketentuan pajak karyawan WNA di Indonesia 

Seperti dalam penjelasan di awal, setiap karyawan WNA yang bekerja di Indonesia memiliki kewajiban untuk membayar pajak atas penghasilan (PPh) yang diperoleh.

Namun, tarif pajak yang dikenakan tergantung pada status Wajib Pajak WNA tersebut. Apakah berstatus sebagai WPLN (Wajib Pajak Luar Negeri) atau WPDN (Wajib Pajak Dalam Negeri)?

Jika berstatus sebagai WPLN 

Maka, karyawan WNA tersebut akan dikenakan PPh pasal 26 sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Besar tarif yang dikenakan adalah 20% dari jumlah penghasilan bruto dan bersifat final. Akan tetapi, hal ini berlaku jika karyawan WNA tersebut:

  • Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
  • Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 1 tahun

Umumnya, ketentuan tersebut berlaku bagi WNA yang sedang memiliki pekerjaan di Indonesia dengan status sementara. Misalnya, staff ahli, pelatih tim olahraga, dan sebagainya.

Jika berstatus sebagai WPDN 

Maka, WNA yang bekerja di Indonesia tersebut akan dikenakan PPh pasal 21 sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh. Tentunya hal tersebut harus dibuktikan dengan menunjukkan visa kerja atau KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas). 

Besar tarif yang dikenakan sama, yaitu bersifat progresif sesuai Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Namun, metode penghitungan yang digunakan untuk karyawan WNA sedikit berbeda dengan karyawan WNI pada umumnya. 

Bila karyawan mulai bekerja pada pertengahan tahun, maka penghitungan pajak tetap berdasarkan penghasilan yang disetahunkan. Bukan berdasarkan penghasilan beberapa bulan.

Sehingga, jumlah pajak bulanan yang harus disetor akan lebih besar. Selain itu, ketentuan tersebut hanya berlaku bagi WNA yang:

  • Bertempat tinggal di Indonesia
  • Berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 1 tahun
  • Berada di Indonesia dalam suatu tahun pajak dan berniat tinggal di Indonesia

Karena sudah menjadi WPDN, maka karyawan WNA tersebut juga harus menjalankan kewajiban pelaporan pajak melalui formulir SPT Tahunan 1770 atau 1770S.

Ketentuan tersebut biasanya berlaku bagi WNA yang bertugas di Indonesia untuk waktu yang lama atau menjadi karyawan tetap

Baca juga: Kriteria WNA Dapat Memanfaatkan Insentif PPN Rumah DTP

Contoh penghitungan pajak karyawan WNA di Indonesia 

Seperti pembahasan di atas, penghitungan pajak untuk karyawan WNA yang berstatus WPLN dan WPDN menggunakan metode yang berbeda.

Agar lebih mudah memahami, simak contoh penghitungan berikut ini!

Karyawan WNA WPLN

James Smith merupakan ahli forensik komputer dari Australia. Pada bulan Mei 2024, ia dipanggil oleh PT Broker Indonesia untuk menganalisa komputer salah satu karyawan yang terduga menggelapkan.

Terhitung 5 bulan James Smith menyelesaikan pekerjaannya di Indonesia. Atas jasanya, PT Broker Indonesia membayar James Smith sebesar Rp100.000.000. 

Berapa pajak yang harus dibayar James Smith?

Karena James Smith merupakan WNA yang berstatus sebagai WPLN, maka dikenakan PPh pasal 26 dengan tarif pajak 20% dari penghasilan bruto.

Sehingga, ia harus membayar PPh sebesar:

20% x Rp100.000.000 = Rp20.000.000

Pajak tersebut dipotong oleh PT Broker Indonesia dan harus dilaporkan melalui SPT Masa Unifikasi. Sebagai pemotong pajak, PT Broker Indonesia harus memberikan bukti potong PPh pasal 26 kepada James Smith.

Karyawan WNA WPDN

Karen Smith adalah WNA asal Australia yang masih single dan belum ada tanggungan. Ia ditugaskan oleh perusahaannya untuk menjadi general manager di PT Growth International, cabang di Indonesia.

Ia sudah mulai bekerja di kantor barunya sejak Juni 2024. Ia mendapatkan gaji sebesar Rp100.000.000/bulan untuk posisi barunya tersebut. 

Bagaimana perpajakannya pada 2024?

Jika Karen Smith bekerja sejak Juni 2024, maka pajaknya dihitung berdasarkan penghasilan yang sudah disetahunkan. Berikut rinciannya:

Penghasilan bruto setahun= Rp100.000.000 x 12 bulan= Rp1.200.000.000
Penghasilan neto setahun= Rp1.200.000.000 – Rp6.000.000 (biaya jabatan 5%, maks. Rp6.000.000)= Rp1.194.000.000
Penghasilan Kena Pajak(Penghasilan Neto – Penghasilan Tidak Kena Pajak)= Rp1.194.000.000 – Rp54.000.000 (PTKP TK/0)= Rp1.140.000.000
PPh pasal 21 disetahunkan= (5% x Rp60.000.000) + (15% x Rp250.000.000) + (25% x Rp500.000.000) + (30% x Rp330.000.000) = Rp264.500.000
PPh pasal 21 setahun (Juni-Desember 2024)= Rp264.500.000 x 7/12= Rp154.292.000
PPh pasal 21 bulan Juni 2024= Rp154.292.000 x 1/7= Rp22.042.000

Atas potongan pajak tersebut, Karen Smith harus melaporkan melalui SPT Tahunan orang pribadi dengan formulir 1770.

Baca juga: Karyawan Swasta Harus Bayar Pajak Apa Saja?

Bila Anda kesulitan mengurus perpajakan pribadi, tim Bisa Pajak dapat melakukannya untuk Anda. Langsung hubungi kami sekarang dan Anda tinggal terima beres!

Pastikan pula untuk selalu update dengan informasi terbaru seputar dunia perpajakan di Indonesia melalui berbagai media sosial kami!