Dalam peraturan perpajakan, Wajib Pajak badan yang memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar/tahun berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.

Guna membuat pembukuan tersebut, pemerintah juga mewajibkan Wajib Pajak badan untuk melampirkan laporan keuangan.

Lantas, seperti apa laporan keuangan yang harus dilampirkan dalam pembukuan? Simak selengkapnya dalam pembahasan berikut ini!

Baca juga: Ingin Membuat Pembukuan Stelsel Kas? Ini Ketentuannya!

Ketentuan laporan keuangan dalam pajak

Pada dasarnya, laporan keuangan merupakan laporan yang berisi informasi finansial suatu perusahaan dalam periode tertentu.

Secara umum, informasi tersebut berupa arus keluar-masuknya keuangan suatu perusahaan. Seperti, penjualan, pembelian, kredit, hutang, dan sebagainya.

Melalui laporan keuangan, perusahaan dapat mengetahui bagaimana kondisi finansial saat ini dan dapat mempertimbangkan tindakan bisnis ke depan.

Namun, apa fungsi laporan keuangan tersebut dalam perpajakan? Mengapa Wajib Pajak harus melampirkannya dalam pembukuan?

Kewajiban tersebut sebetulnya tertuang dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Disebutkan bahwa Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan harus melampirkan laporan keuangan dalam SPT Tahunan PPh (Pajak Penghasilan).

Selain itu, dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP juga disebutkan bahwa proses pembukuan harus ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi. 

Tujuannya untuk apa? Ini dilakukan agar Wajib Pajak maupun DJP dapat menghitung besar PKP (Penghasilan Kena Pajak) yang harus dibayar. 

Apakah kurang bayar atau tidak? Apakah penghitungan besar pajaknya sudah tepat? Serta hal lain yang harus diteliti oleh DJP dalam SPT Tahunan tersebut.

Baca juga: Jangan Salah Buat, Ini Bedanya Pembukuan dan Pencatatan Pajak!

Jenis laporan keuangan dalam SPT Tahunan

Bila melihat pada Pasal 1 angka 29 UU KUP dalam penjelasan di atas, terdapat 2 jenis laporan keuangan yang harus disertakan dalam pembukuan, yaitu:

1. Laporan keuangan neraca

Laporan keuangan neraca dibuat untuk dapat melihat kondisi finansial suatu perusahaan apakah seimbang atau tidak.

Untuk itu, ada 3 komponen yang harus dicatat dalam laporan neraca, yaitu:

  • Aset yang terdiri dari alur kas, piutang, aset tetap, dan inventaris perusahaan
  • Kewajiban yang terdiri dari pinjaman, utang, dan sebagainya
  • Ekuitas yang merupakan selisih antara aset serta kewajiban perusahaan 

2. Laporan laba rugi

Sesuai namanya, laporan laba rugi dibuat untuk dapat melihat kondisi finansial perusahaan apakah mengalami kerugian atau keuntungan.

Kondisi tersebut dilihat dengan mencatat 2 komponen dalam laporan, yaitu:

  • Pendapatan perusahaan yang berasal dari penjualan
  • Pengeluaran perusahaan yang terdiri dari biaya operasional, gaji karyawan, modal, pemasaran, dan sebagainya

Selain kedua jenis laporan di atas, Pasal 4 ayat (4) UU KUP juga mewajibkan Wajib Pajak untuk melampirkan keterangan lain yang diperlukan dalam penghitungan besar PKP. 

Keterangan lain yang dimaksud tersebut adalah dokumen-dokumen yang mendukung laporan keuangan dari suatu perusahaan. 

Misalnya, rekening koran atau tabungan perusahaan, buku besar pendukung laporan keuangan, dan sebagainya.

Selain itu, jika laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik, maka perusahaan juga harus melampirkan hasil audit tersebut dalam SPT Tahunan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4b) UU KUP.

Membuat laporan keuangan membutuhkan ketelitian dan ketepatan agar tidak terjadi salah penghitungan yang berujung pada pemeriksaan pajak.

Baca juga: UMKM Silakan Melakukan Pencatatan dengan Cara Ini!

Bila Anda mengalami kesulitan, biar tim Bisa Pajak yang mengurus laporan keuangan serta perpajakan usaha Anda. Tinggal hubungi kami dan terima beres! 

Pastikan pula untuk selalu update dengan informasi terbaru seputar dunia perpajakan di Indonesia dan promo layanan Bisa Pajak melalui media sosial kami!