Dalam penghitungan pajak, pemerintah mewajibkan Wajib Pajak untuk melakukan pembukuan atau pencatatan keuangan. 

Tujuannya agar DJP dapat mengecek laporan pajak yang telah disampaikan, apakah sesuai dengan data keuangan yang ada atau tidak.

Akan tetapi, ternyata masih banyak yang bingung harus melakukan pembukuan atau pencatatan, karena tidak paham perbedaan antara keduanya. 

Baca juga: Lampiran yang Perlu Disertakan dalam SPT Tahunan Badan

Pengertian pembukuan dan pencatatan pajak

Pada dasarnya, pembukuan dan pencatatan merupakan proses pencatatan keuangan milik Wajib Pajak yang dilakukan secara teratur. 

Akan tetapi, yang membuat keduanya berbeda adalah data atau informasi keuangan yang harus dicatat di dalamnya.

Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), menyebutkan data dan informasi dalam pembukuan, meliputi:

  • Harta
  • Kewajiban
  • Modal
  • Penghasilan dan biaya
  • Jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa

Sedangkan, pencatatan hanya mencatat data keuangan berupa peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto. 

Penghasilan tersebut termasuk yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak bersifat final. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (9) UU KUP. 

Subjek pajak yang wajib membuat pembukuan dan pencatatan

Seperti yang sudah Anda simak di atas, pembukuan dan pencatatan memiliki perbedaan pada data dan informasi yang tercantum di dalamnya.

Namun, yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah siapa yang harus membuat pembukuan dan siapa yang harus melakukan pencatatan? 

Sebetulnya, jika melihat pada Pasal 28 ayat (1) UU KUP, pemerintah mewajibkan Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan untuk melakukan pembukuan.

Wajib Pajak orang pribadi yang dimaksud adalah yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan tersebut harus dilakukan berdasarkan pencatatan yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak. Sehingga, dapat dikatakan pencatatan dan pembukuan merupakan satu kesatuan.

Namun, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas juga diperbolehkan untuk hanya membuat pencatatan. Pengecualian tersebut tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP.

Lalu, bagaimana dengan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki usaha atau pekerjaan bebas? Apakah juga harus melakukan pencatatan?

Kewajiban pelaksanaan pencatatan juga dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi seperti karyawan. Akan tetapi, biasanya pencatatan telah dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Baca juga: Pajak CV Tak Bisa Gunakan PPh Final UMKM Setelah 4 Tahun

Syarat penyelenggaraan

UU KUP tidak mengatur secara rinci terkait syarat penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan pajak. 

Namun, hal tersebut diatur secara terpisah dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 54/PMK.03/2021. Lalu, apa syarat penyelenggaraan yang harus dipenuhi?

Untuk menyelenggarakan pencatatan, maka Wajib Pajak orang pribadi harus melakukan:

  • Dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan
  • Di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab dan satuan mata uang rupiah sebesar nilai yang sebenarnya dan/atau seharusnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan 
  • Dalam suatu tahun pajak berupa jangka waktu 1 tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember
  • Secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto

Keempat syarat tersebut tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) PMK Nomor 54/PMK.03/2021. Selain itu, Pasal 4 ayat (1) huruf b PMK Nomor 54/PMK.03/2021 menyebutkan pencatatan dilakukan jika peredaran bruto Wajib Pajak orang pribadi kurang dari Rp4,8 miliar/tahun.   

Wajib Pajak orang pribadi juga dapat menggunakan penghitungan NPPN (Norma Penghitungan Penghasilan Neto) selama melakukan pemberitahuan kepada DJP.

Sedangkan, untuk menyelenggarakan pembukuan, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) PMK Nomor 54/PMK.03/2021 mengharuskan Wajib Pajak melakukan:

  • Dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya
  • Di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
  • Secara konsisten dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas
  • Jika ingin menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, maka harus mendapatkan izin Menteri lebih dulu

Lantas, mana yang harus digunakan? Pembukuan atau pencatatan? Seperti dalam penjelasan sebelumnya, pemerintah mewajibkan Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan untuk melakukan pembukuan.

Akan tetapi, khusus Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilannya di bawah Rp4,8 miliar/tahun dapat melakukan pencatatan. Sedangkan, untuk Wajib Pajak badan tetap harus melakukan pembukuan.

Namun, jangan khawatir jika Anda kesulitan untuk melakukan pembukuan maupun pencatatan. Tim Bisa Pajak siap membantu Anda, hubungi kami dan terima beres!

Pastikan pula untuk selalu update dengan informasi terbaru seputar dunia perpajakan di Indonesia melalui berbagai media sosial kami!